Belalang Tempur Fall Down

Pukul empat kurang seperempat sore, Jambi agak mendung hari ini, kunyalakan Belalang Tempur yang masih sedikit basah karena gerimis beberapa saat yang lalu.

Dengan backsound berdentam-dentam kumelaju menuju kampus. Dengan dresscode hitam putih, kusiapkan mental menghadapi ujian akhir semester, yang selanjutnya disebut UAS, sesi terakhir, mata kuliah Sistem Informasi Akuntansi yang selanjutnya disebut Sistem. Kalau kulit zebra yang hitam putih sangat berguna untuk mengelabui singa yang buta warna, baju hitam dan celana putih mungkin dimaksudkan untuk memudahkan pengawas ujian mengamati gerak-gerik kami.

Hari gini masih berseragam… Untung seragam yang penuh warna ini (putih = merah + hijau + biru) hanya wajib dipakai ketika menjalani UAS saja. Memang rakyat jelata sepertiku tidak akan bisa mengerti pikiran para pembuat aturan, kenapa mahasiswa harus berseragam ketika UAS?

Setengah perjalanan langit mulai semakin gelap dan butiran-butiran air mulai berjatuhan. Dengan hati-hati kubelokkan Belalang Tempur ke sebuah toko kelantong yang memiliki kanopi. Segera kumeng-up grade armor dengan mantel hujan.

Harusnya juga ganti ban dengan ban khusus lintasan basah sih, cuman ga sempet ke toko penjual ban. Dengan kecepatan rendah kuterobos guyuran hujan Kota Jambi sampai ke kampus tercinta, University of Jambi, yang selanjutnya disebut Unja.

Tumben, kali ini saya tidak terlambat, teman-teman masih bergerombol di dalam ruang kelas dan pengawas belum datang. Saya merasakan ada yang berbeda kali ini, oh ya, intensitas cahaya di ruangan terlalu rendah. Yah, mati lampu lagi….

Dengan jarak pandang terbatas kamipun mengerjakan soal yang disediakan. Tidak seperti dalam dunia penerbangan, resiko terbesar keterbatasan jarak pandang kali ini hanyalah tulisan ancur jadi terlihat sangat rapih. Serasa kembali ke zaman Yunani kuno semasa Dewi Hera mengambil api dari permukaan bumi, kami menjalani UAS dalam kegelapan.

Beberapa saat setelah UAS sekaligus tes kesehatan mata dimulai Adit baru datang dengan celana basah, jaket (yang terlihat seperti) kulit miliknya hanya mampu melindungi tubuh bagian atas. Kemudian disusul beberapa yang lain yang terhambat karena derasnya hujan. Aji datang pas injury time dan berhasil keluar duluan, dunia memang tidak adil.

Tidak seperti di STAN yang langsung DO kalau ketahuan mencontek, di Unja tidak ada sanksi yang tegas terhadap pelaku curang. Alhasil mahasiswa Unja tidak terlatih untuk mengembangkan teknik mencontek di bawah ancaman DO. Dian, di sebelahku terdengar berbisik-bisik keras menyebarkan jawaban, “… satu be, be, dua a, … enam belas ce… persis seperti di buku,” sambil terkikik. Meskipun demikian, jawaban yang keluar terkesan tidak valid. Jangankan buku, catatanpun aku tidak punya, hanya berbekal insting dan gamblinglah aku mengadu nasib.

Setelah ujian kamipun chit-chat di depan kelas, tipikal pergaulan kampus.

Hape bergetar, rupanya ada telepon dari Melawai memberi tahu bahwa kaca mata pesananku sudah jadi dan bisa diambil, merasa jadi pelanggan yang diperhatikan padahal baru pertama kali beli kaca mata di Melawai.

Tiga hari yang lalu….

Setelah menyerbu Solaria dalam rangka merayakan ulang tahun salah satu teman kantor, saya mengantar Aldre ke Melawai, “mau cuci mata,” katanya.

“Cuci mata” di sini tidak sepenuhnya denotasi dan tidak pula bermakna konotatif, dia berniat mencuci lensa kontaknya di Melawai. Tanpa kaca mata, lensa kontak terLIHAT sangat praktis tetapi pasti teRASA merepotkan bagi pemakainya. Karena menunggu lama, saya berkeliling mengamati etalase. Tentu saja kaca mata saya lepaskan dan saya sembunyikan karena bentuknya yang sudah tidak karuan, minder dengan ratusan kaca mata yang dipajang.

Daftar Kekerasan dalam Berkaca Mata saya:
– Jarang dimasukkan ke dalam tempatnya,
– sering kehujanan,
– menggunakan kaos atau kemeja sebagai lap,
– pernah jatuh dan terinjak,
– sering dipakai saat tidur dan ditemukan tertindih badan keesokan harinya,
– dst.

Merasa terintimidasi dengan FRAME yang harganya mencapai tujuh digit, saya berpindah ke strata yang lebih sesuai. Tiba-tiba saya terdorong untuk membeli salah satunya. Dengan pelayanan yang hiperramah, terlalu ramah untuk di Jawa sekalipun, saya akhirnya berhasil membeli sebuah kaca mata baru. Barang bisa diambil maksimal satu minggu kemudian.

Karena masa promo, saya dapat voucher belanja yang langsung dipakai Aldre untuk membeli cairan pembersih lensa kontak. Gaya memang ribet dan mahal.

Setelah mendapat telepon dari mas-mas penjaga Melawai, saya memutuskan untuk segera mengambil kaca mata yang sudah saya pesan tiga hari sebelumnya. Masih ada waktu sebelum masuk waktu maghrib.

Perjalanan kali ini tidak semulus yang dibayangkan. Gerimis mulai turun.

Belum ada satu kilo dari kampus, sebuah mobil Kijang mengerem agak mendadak, motor di belakangnya oleng karena jalan yang basah dan berpasir. Walaupun kecepatan rendah, Belalang Tempur tidak mampu menahan momentum yang terlalu besar dengan gaya gesek yang terlalu kecil. Gaya gravitasi sangat merepotkan, Energi Potensial gravitasi berubah menjadi Energi Kinetik menghempaskan saya ke aspal yang basah. Armor berupa celana kantoran tidak mampu menahan lutut dan terkoyak menyisakan lecet. Sarung tangan berlogo Desa Konoha saya berhasil melindungi telapak tangan dari lecet-lecet yang merepotkan.

Serasa Valentino Rassi, saya segera bangkit dari pose-pose seksi yang tidak perlu dan berusaha membantu bapak pengendara motor yang nasibnya tidak lebih baik daripada saya. Anaknya yang membonceng terlihat terkejut dan meringis karena lecet-lecet.

Tidak ada korban dengan luka serius dalam kejadian ini. Kamipun berpisah ke tujuan masing-masing. Sebelum sampai ke rumah, sama mampir apotik untuk membeli Betadyne dan Hansaplast.

Yeah… satu lagi celana saya bolong. Belalang Tempur harus ke bengkel juga…

Leave a comment